Nama : Irna Diniasari
Kelas : 4EA13
NPM : 13210623
(Softskill Etika Bisnis)
Ø Kasus Terhadap Hak Pekerja
Komnas
HAM: Blitzmegaplex Terindikasi Melanggar Hak Pekerja
Mulai
dari melarang penggunaan kerudung hingga ketiadaan serikat pekerja.
Niat Ayudia Satta melaporkan
Blitzmegaplex -perusahaan tempatnya bekerja ke Komnas HAM, benar-benar
dilakukan. Didampingi pengacara publik dari LBH Jakarta, Senin (8/11) Ayu
mengadukan tindakan manajemen perusahaan yang melarangnya mengenakan jilbab.
Anggota Komnas HAM, Johny Nelson
Simanjuntak mengaku menemukan indikasi adanya pelanggaran hak asasi yang
dilakukan Blitzmegaplex. “Hak beragama dan menjalankan ibadah adalah hak asasi
yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun,” kata Johny kepada hukumonline usai menerima pengaduan Ayu.
Komnas HAM, lanjut Johny, akan segera
menindaklanjuti pengaduan Ayu. “Paling lambat lusa (Rabu) kami akan mengirimkan
surat kepada pihak manajemen Blitzmegaplex untuk meminta klarifikasi mengenai
hal ini.” Bahkan juga tak tertutup kemungkinan pihak manajemen bakal dipanggil
dan dipertemukan dengan pengadu.
Tak hanya itu, Komnas HAM juga bakal
berkirim surat kepada pihak Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan untuk meminta
pengawasan terhadap perusahaan. “Selain masalah pelarangan jilbab ini, kami
juga meminta agar pihak Dinas Tenaga Kerja untuk mengawasi bagaimana
pelaksanaan hak-hak pekerja di sana.”
Seperti diberitakan sebelumnya, Ayu
mengadukan Blitzmegaplex karena ia dilarang mengenakan jilbab saat bekerja. Ayu
yang bekerja di perusahaan bioskop itu sejak Desember 2006 menuturkan perkara
ini berawal sekira empat bulan lalu. Tepatnya pada awal Juli 2010.
“Pada tanggal 3 Juli 2010 saya datang ke
kantor dengan menggunakan jilbab,” aku Ayu yang terakhir menjabat sebagai
supervisor operasional di Blitzmegaplex Teraskota Mall Serpong ini.
Pihak manajemen, berdasarkan cerita Ayu,
lantas memanggilnya atas penampilan busana Ayu. “Saya disuruh memilih.
Melepaskan jilbab pada saat bekerja atau mengundurkan diri,” kata Ayu. “Karena
saya tak mau melepaskan jilbab, lalu pada tanggal 5 Juli, saya dirumahkan oleh
pihak manajemen dengan alasan saya disuruh menghabiskan hak cuti saya.” Merasa
haknya menjalankan ibadah dengan mengenakan jilbab dibatasi, Ayu lantas meminta
bantuan hukum ke LBH Jakarta.
Pengacara LBH Jakarta, Kiagus Ahmad
menuturkan upaya berdialog dengan pihak manajemen bukannya tak dilakukan.
Beberapa kali ia berunding dengan pihak manajemen. “Tapi tampaknya pelarangan
berjilbab adalah harga mati untuk mereka. Bahkan tawaran kami agar memodifikasi
jilbab kalau dianggap mengganggu kerja karyawan, juga tak digubris,” kata
Kiagus
Masalah jilbab belum selesai, muncul
persoalan baru. Perusahaan malah mengeluarkan kebijakan dengan memindahkan
(mutasi) Ayu ke Bandung terhitung sejak 1 November lalu. “Tapi terlihat
tindakan memutasi adalah upaya untuk membuat Ayu tak betah di perusahaan, lalu
mengundurkan diri. Sebab, perusahaan belum mengkoordinasikan pemutasian ini ke
Blitz Teraskota maupun Bandung.”
Langgar
hak lain
Berdasarkan catatan Komnas HAM, kasus
pelarangan berjilbab di tempat kerja bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya,
juga ada kasus serupa di rumah sakit dan pabrik tekstil. “Namun akhirnya
penggunaan jilbab dalam kasus sebelumnya masih bisa ditoleransi karena alasan
keamanan dan keselamatan. Baik bagi pekerja yang bersangkutan, atau pasien
rumah sakit,” kata Johny.
Sedangkan dalam perkara ini, lanjut
Johny, tak ditemukan alasan yang membenarkan pihak perusahaan melarang Ayu
berjilbab. “Tadi disebutkan bahwa yang bersangkutan (Ayu) tidak berhubungan
langsung dengan konsumen, atau bekerja di pabrik. Lalu apa alasannya melarang
jilbab?”
Selain itu, Johny juga mencium adanya
pelanggaran hak pekerja yang lain di Blitzmegaplex. Salah satunya adalah hak
pekerja untuk membentuk serikat pekerja. “Padahal jumlah karyawannya banyak,
kenapa tidak ada serikat pekerjanya?”
Sampai berita ini diturunkan, pihak PT
Graha Layar Prima sebagai pengelola Blitzmegaplex belum mau berkomentar.
Manajer HRD Blitzmegaplex, Maria Theresia Widyastuti menyarankan hukumonline
untuk berkomunikasi dengan Manajer Marketing Invani Suryaji. Namun ketika
dihubungi lewat telepon ke kantor, seorang staf marketing Blitzmegaplex
menuturkan pihak manajemen belum bisa memberi keterangan resmi.
Ø Kasus Terhadap Iklan Yang Tidak
Etis
Iklan
Lifebuoy Menohok NTT
Iklan sabun mandi Lifebuoy yang
ditayangkan di televisi nasional benar-benar menohok orang Nusa Tenggara Timur
(NTT). Padahal niatnya baik ingin membantu sanitasi di NTT, tetapi pesannya di
televisi kurang etis.
Iklan itu menganggap anak-anak NTT begitu
kotornya. Tidak pernah mandi memakai sabun sehingga selalu terserang penyakit
menular. Maka, anak-anak NTT tidak bisa merayakan ulang tahun kelima. Alias
mati sebelum usia lima tahun alias balita.
Apakah benar fakta di lapangan seperti
itu? Anak-anak NTT mati sebelum usia lima tahun? Tidak pernah mandi. Tidak memakai
sabun?
Pihak Lifebuoy rupanya memakai jurus gebyah uyah alias generalisasi. Pars
pro toto. Menjumpai kasus kematian anak yang tinggi di salah satu kampung, kemudian
membuat kesimpulan sekejam itu bahwa anak-anak NTT itu meninggal dunia sebelum
usia lima tahun!
Jika faktanya demikian berarti penduduk
NTT musnah atau terancam musnah. Berkurang dratis atau tak ada lagi remaja dan
orang dewasa baru. Padahal, yang terjadi justru penduduk NTT sudah di atas lima
juta jiwa. Dua puluh tahun lalu hanya sekitar 2,5 juta atau 3 juta jiwa.
Lantas, pertambahan penduduk yang
siginifikan itu dari mana? Dari luar?
Jelas tidak karena NTT bukan tujuan
transmigrasi, tapi pengirim transmigran dan TKI. Begitu banyak orang asli NTT
yang keluar tetapi jumlah penduduknya semakin banyak. Yang pasti, angka 5 juta
lebih itu tidak termasuk pengungsi Timor Leste.
Betul kata para sesepuh NTT di Jakarta.
Beriklan boleh saja dan perlu. Apalagi mempunyai misi sosial membantu anak-anak
NTT di pedalaman dari setiap sabun yang dibeli konsumen. Tetapi mengeksploitasi
anak-anak NTT, apalagi membuat generalisasi yang ngawur bin gendeng tidak bisa dibenarkan. Tidak etis!
Sebelumnya ada iklan sejenis dari Aqua
tentang sulitnya air bersih di NTT. Dengan membeli Aqua, konsumen ikut membantu
pengadaan air bersih di NTT. Berbeda dengan Lifebuoy, Aqua menggunakan fakta
yang benar dan tidak sampai melakukan pembunuhan karakter manusia yang
kebetulan tinggal di NTT.
Menolong orang lain itu sangat mulia.
Dan memang diperintahkan oleh Tuhan. Tapi menolong dengan membunuh karakter
orang yang ditolong, menghina, mengejek, melecehkan, martabat orang NTT tidak
bisa dibenarkan.
Ø Kasus Terhadap Etika Pasar Bebas
Kasus
Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea
Salah satu kasus yang terjadi antara
anggota WTO yaitu kasus antara Korea dan Indonesia. Dimana Korea menuduh
Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia
mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah
Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22
persen terhitung 7 November 2003. Akibat adanya tuduhan dumping maka ekspor
produk tersebut mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke
Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67
juta dolar.
Kasus ini bermula ketika industri kertas
Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia,
antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing
dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean
Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003. KTC
mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik
kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat
0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC
menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan
ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat
diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia
mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan
konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal
mencapai kesepakatan.
Oleh karena itu, Indonesia meminta Badan
Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka
DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran
terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan
antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah
melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk
kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam
menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek
dumping dari produk kertas Indonesia.
Ø Kasus Terhadap Whistle Blowing
Whistle
Blower Agus Tjondro setelah Ditetapkan Jadi Tersangka
Ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), mantan anggota FPDIP DPR Agus Tjondro
tenang-tenang saja. Agus sempat menjadi news maker di berbagai media massa
berkaitan terbongkarnya kasus suap travellers cheque (TC) pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom pada 2004.
Agus yang meniupkan kasus itu ke publik,
akhirnya juga ditetapkan KPK sebagai salah satu dari 26 anggota DPR RI periode
1999-2004 yang diduga menerima suap tersebut. Pada awalnya, ayah tiga anak
tersebut terkejut karena namanya termasuk jadi tersangka. Tapi kemudian dia
bisa menerimanya dengan ikhlas.
Agus menceritakan, ketika itu dirinya
khilaf mau menerima uang suap untuk memuluskan jalan Miranda menduduki kursi
deputi gubernur BI. Dia menyesal telah melakukan itu, karena selama ini dia
termasuk aktivis antikorupsi. Karena itu, dia kemudian berusaha menebus
kesalahannya dengan menjadi whistle blower, orang yang mengungkap kasus
tersebut.
"Tapi, tidak apa-apa, saya anggap
ini sebagai risiko dari upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, saya juga
termasuk bagian dari kasus tersebut," ujarnya. "Ya, itung-itung ini
hadiah Lebaran," imbuhnya lantas tertawa.
Hanya, sebagai whistle blower dalam
kasus suap itu Agus berharap mendapatkan keringanan hukuman. Sebab, tanpa
dirinya, kasus itu tidak akan terkuak ke publik dan para penerima suap bisa
melenggang dengan tenang. "Tapi, saya siap mendekam di penjara. Itu risiko
perjuangan," tutur mantan wakil rakyat itu.
Keluarga pasrah terhadap apa yang akan
terjadi dan dialami Agus. Menurut Elia Nuraeni, istri Agus, keluarga mendukung
sepenuhnya langkah yang ditempuh Agus. "Saya sudah paham benar risiko
menjadi istri orang seperti Mas Agus. Anak-anak juga sudah tahu, apa yang papa
mereka kerjakan," ucap wanita yang sudah 17 tahun mendampingi Agus.
Karena itu, bagi wanita 44 tahun tersebut,
penetapan Agus sebagai tersangka, hanya bagian dari perjalanan hidup mereka
yang akan berlalu seiring perjalanan waktu. "Tak jarang kami harus
menghadapi teror, karena bapak membongkar kasus korupsi."
Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cd7f01cb5376/komnas-ham-blitzmegaplex-terindikasi-melanggar-hak-pekerja
http://hurek.blogspot.com/2013/12/iklan-lifebuoy-menohok-ntt.html
http://tatautamibrawijayaairlangga.blogspot.com/2013/11/tugas-etika-bisnis-norma-dan-etika-pada_8414.html
http://news.fajar.co.id/read/106141/127/whistle-blower-agus-tjondro-setelah-ditetapkan-jadi-tersangka