Rabu, 08 Januari 2014

KASUS-KASUS DALAM ETIKA BISNIS


Nama : Irna Diniasari
Kelas : 4EA13
NPM : 13210623
(Softskill Etika Bisnis)


Ø Kasus Terhadap Hak Pekerja
Komnas HAM: Blitzmegaplex Terindikasi Melanggar Hak Pekerja

Mulai dari melarang penggunaan kerudung hingga ketiadaan serikat pekerja.
Niat Ayudia Satta melaporkan Blitzmegaplex -perusahaan tempatnya bekerja ke Komnas HAM, benar-benar dilakukan. Didampingi pengacara publik dari LBH Jakarta, Senin (8/11) Ayu mengadukan tindakan manajemen perusahaan yang melarangnya mengenakan jilbab.

Anggota Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak mengaku menemukan indikasi adanya pelanggaran hak asasi yang dilakukan Blitzmegaplex. “Hak beragama dan menjalankan ibadah adalah hak asasi yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun,” kata Johny kepada hukumonline usai menerima pengaduan Ayu.

Komnas HAM, lanjut Johny, akan segera menindaklanjuti pengaduan Ayu. “Paling lambat lusa (Rabu) kami akan mengirimkan surat kepada pihak manajemen Blitzmegaplex untuk meminta klarifikasi mengenai hal ini.” Bahkan juga tak tertutup kemungkinan pihak manajemen bakal dipanggil dan dipertemukan dengan pengadu.

Tak hanya itu, Komnas HAM juga bakal berkirim surat kepada pihak Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan untuk meminta pengawasan terhadap perusahaan. “Selain masalah pelarangan jilbab ini, kami juga meminta agar pihak Dinas Tenaga Kerja untuk mengawasi bagaimana pelaksanaan hak-hak pekerja di sana.”

Seperti diberitakan sebelumnya, Ayu mengadukan Blitzmegaplex karena ia dilarang mengenakan jilbab saat bekerja. Ayu yang bekerja di perusahaan bioskop itu sejak Desember 2006 menuturkan perkara ini berawal sekira empat bulan lalu. Tepatnya pada awal Juli 2010.

“Pada tanggal 3 Juli 2010 saya datang ke kantor dengan menggunakan jilbab,” aku Ayu yang terakhir menjabat sebagai supervisor operasional di Blitzmegaplex Teraskota Mall Serpong ini.

Pihak manajemen, berdasarkan cerita Ayu, lantas memanggilnya atas penampilan busana Ayu. “Saya disuruh memilih. Melepaskan jilbab pada saat bekerja atau mengundurkan diri,” kata Ayu. “Karena saya tak mau melepaskan jilbab, lalu pada tanggal 5 Juli, saya dirumahkan oleh pihak manajemen dengan alasan saya disuruh menghabiskan hak cuti saya.” Merasa haknya menjalankan ibadah dengan mengenakan jilbab dibatasi, Ayu lantas meminta bantuan hukum ke LBH Jakarta.  

Pengacara LBH Jakarta, Kiagus Ahmad menuturkan upaya berdialog dengan pihak manajemen bukannya tak dilakukan. Beberapa kali ia berunding dengan pihak manajemen. “Tapi tampaknya pelarangan berjilbab adalah harga mati untuk mereka. Bahkan tawaran kami agar memodifikasi jilbab kalau dianggap mengganggu kerja karyawan, juga tak digubris,” kata Kiagus

Masalah jilbab belum selesai, muncul persoalan baru. Perusahaan malah mengeluarkan kebijakan dengan memindahkan (mutasi) Ayu ke Bandung terhitung sejak 1 November lalu. “Tapi terlihat tindakan memutasi adalah upaya untuk membuat Ayu tak betah di perusahaan, lalu mengundurkan diri. Sebab, perusahaan belum mengkoordinasikan pemutasian ini ke Blitz Teraskota maupun Bandung.”

Langgar hak lain
Berdasarkan catatan Komnas HAM, kasus pelarangan berjilbab di tempat kerja bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, juga ada kasus serupa di rumah sakit dan pabrik tekstil. “Namun akhirnya penggunaan jilbab dalam kasus sebelumnya masih bisa ditoleransi karena alasan keamanan dan keselamatan. Baik bagi pekerja yang bersangkutan, atau pasien rumah sakit,” kata Johny.

Sedangkan dalam perkara ini, lanjut Johny, tak ditemukan alasan yang membenarkan pihak perusahaan melarang Ayu berjilbab. “Tadi disebutkan bahwa yang bersangkutan (Ayu) tidak berhubungan langsung dengan konsumen, atau bekerja di pabrik. Lalu apa alasannya melarang jilbab?”

Selain itu, Johny juga mencium adanya pelanggaran hak pekerja yang lain di Blitzmegaplex. Salah satunya adalah hak pekerja untuk membentuk serikat pekerja. “Padahal jumlah karyawannya banyak, kenapa tidak ada serikat pekerjanya?”

Sampai berita ini diturunkan, pihak PT Graha Layar Prima sebagai pengelola Blitzmegaplex belum mau berkomentar. Manajer HRD Blitzmegaplex, Maria Theresia Widyastuti menyarankan hukumonline untuk berkomunikasi dengan Manajer Marketing Invani Suryaji. Namun ketika dihubungi lewat telepon ke kantor, seorang staf marketing Blitzmegaplex menuturkan pihak manajemen belum bisa memberi keterangan resmi.


Ø Kasus Terhadap Iklan Yang Tidak Etis
Iklan Lifebuoy Menohok NTT

Iklan sabun mandi Lifebuoy yang ditayangkan di televisi nasional benar-benar menohok orang Nusa Tenggara Timur (NTT). Padahal niatnya baik ingin membantu sanitasi di NTT, tetapi pesannya di televisi kurang etis.

Iklan itu menganggap anak-anak NTT begitu kotornya. Tidak pernah mandi memakai sabun sehingga selalu terserang penyakit menular. Maka, anak-anak NTT tidak bisa merayakan ulang tahun kelima. Alias mati sebelum usia lima tahun alias balita.

Apakah benar fakta di lapangan seperti itu? Anak-anak NTT mati sebelum usia lima tahun? Tidak pernah mandi. Tidak memakai sabun?

Pihak Lifebuoy rupanya memakai jurus gebyah uyah alias generalisasi. Pars pro toto. Menjumpai kasus kematian anak yang tinggi di salah satu kampung, kemudian membuat kesimpulan sekejam itu bahwa anak-anak NTT itu meninggal dunia sebelum usia lima tahun!

Jika faktanya demikian berarti penduduk NTT musnah atau terancam musnah. Berkurang dratis atau tak ada lagi remaja dan orang dewasa baru. Padahal, yang terjadi justru penduduk NTT sudah di atas lima juta jiwa. Dua puluh tahun lalu hanya sekitar 2,5 juta atau 3 juta jiwa.

Lantas, pertambahan penduduk yang siginifikan itu dari mana? Dari luar?

Jelas tidak karena NTT bukan tujuan transmigrasi, tapi pengirim transmigran dan TKI. Begitu banyak orang asli NTT yang keluar tetapi jumlah penduduknya semakin banyak. Yang pasti, angka 5 juta lebih itu tidak termasuk pengungsi Timor Leste.

Betul kata para sesepuh NTT di Jakarta. Beriklan boleh saja dan perlu. Apalagi mempunyai misi sosial membantu anak-anak NTT di pedalaman dari setiap sabun yang dibeli konsumen. Tetapi mengeksploitasi anak-anak NTT, apalagi membuat generalisasi yang ngawur bin gendeng tidak bisa dibenarkan. Tidak etis!

Sebelumnya ada iklan sejenis dari Aqua tentang sulitnya air bersih di NTT. Dengan membeli Aqua, konsumen ikut membantu pengadaan air bersih di NTT. Berbeda dengan Lifebuoy, Aqua menggunakan fakta yang benar dan tidak sampai melakukan pembunuhan karakter manusia yang kebetulan tinggal di NTT.

Menolong orang lain itu sangat mulia. Dan memang diperintahkan oleh Tuhan. Tapi menolong dengan membunuh karakter orang yang ditolong, menghina, mengejek, melecehkan, martabat orang NTT tidak bisa dibenarkan.


Ø Kasus Terhadap Etika Pasar Bebas
Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea

Salah satu kasus yang terjadi antara anggota WTO yaitu kasus antara Korea dan Indonesia. Dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. Akibat adanya tuduhan dumping maka ekspor produk tersebut mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar.

Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia, antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003. KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.

Oleh karena itu, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.


Ø Kasus Terhadap Whistle Blowing
Whistle Blower Agus Tjondro setelah Ditetapkan Jadi Tersangka

Ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mantan anggota FPDIP DPR Agus Tjondro tenang-tenang saja. Agus sempat menjadi news maker di berbagai media massa berkaitan terbongkarnya kasus suap travellers cheque (TC) pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom pada 2004.

Agus yang meniupkan kasus itu ke publik, akhirnya juga ditetapkan KPK sebagai salah satu dari 26 anggota DPR RI periode 1999-2004 yang diduga menerima suap tersebut. Pada awalnya, ayah tiga anak tersebut terkejut karena namanya termasuk jadi tersangka. Tapi kemudian dia bisa menerimanya dengan ikhlas.

Agus menceritakan, ketika itu dirinya khilaf mau menerima uang suap untuk memuluskan jalan Miranda menduduki kursi deputi gubernur BI. Dia menyesal telah melakukan itu, karena selama ini dia termasuk aktivis antikorupsi. Karena itu, dia kemudian berusaha menebus kesalahannya dengan menjadi whistle blower, orang yang mengungkap kasus tersebut.

"Tapi, tidak apa-apa, saya anggap ini sebagai risiko dari upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, saya juga termasuk bagian dari kasus tersebut," ujarnya. "Ya, itung-itung ini hadiah Lebaran," imbuhnya lantas tertawa.

Hanya, sebagai whistle blower dalam kasus suap itu Agus berharap mendapatkan keringanan hukuman. Sebab, tanpa dirinya, kasus itu tidak akan terkuak ke publik dan para penerima suap bisa melenggang dengan tenang. "Tapi, saya siap mendekam di penjara. Itu risiko perjuangan," tutur mantan wakil rakyat itu.

Keluarga pasrah terhadap apa yang akan terjadi dan dialami Agus. Menurut Elia Nuraeni, istri Agus, keluarga mendukung sepenuhnya langkah yang ditempuh Agus. "Saya sudah paham benar risiko menjadi istri orang seperti Mas Agus. Anak-anak juga sudah tahu, apa yang papa mereka kerjakan," ucap wanita yang sudah 17 tahun mendampingi Agus.

Karena itu, bagi wanita 44 tahun tersebut, penetapan Agus sebagai tersangka, hanya bagian dari perjalanan hidup mereka yang akan berlalu seiring perjalanan waktu. "Tak jarang kami harus menghadapi teror, karena bapak membongkar kasus korupsi."


Sumber:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cd7f01cb5376/komnas-ham-blitzmegaplex-terindikasi-melanggar-hak-pekerja
http://hurek.blogspot.com/2013/12/iklan-lifebuoy-menohok-ntt.html
http://tatautamibrawijayaairlangga.blogspot.com/2013/11/tugas-etika-bisnis-norma-dan-etika-pada_8414.html
http://news.fajar.co.id/read/106141/127/whistle-blower-agus-tjondro-setelah-ditetapkan-jadi-tersangka